Tepat 16 Juli 1950, Stadion Maracana, membuat rekor dunia saat partai final antara tuan rumah Brazil melawan Uruguay di gelar. Jumlah penonton yang semula dibatasi 150.000 orang, meluber menjadi 172.772 orang. Mereka antusias menunggu sukses Brazil untuk pertama kalinya menjuarai Piala Dunia. Tapi, yang terjadi di lapangan sebaliknya. Brazil kalah dan stadion terbesar di dunia saat itu, dibanjiri airmata. Duka-cita nasional yang sulit terobati.
Sebelum pertandingan digelar, Brazil begitu yakin akan menjuarai turnamen kali ini. Apalagi hanya butuh hasil seri lawan Uruguay. Sebagai catatan, di Piala Dunia 1950 yang diikuti 13 tim, dibagi menjadi 4 grup. Masing-masing juara grup masuk ke pool final. Peraih nilai terbesar di grup ini akan menjadi juara. Nah, partai Brazil vs Uruguay sangat menentukan. Brazil ungul dengan meraup 4 poin, sedangkan Uruguay tepat di bawah Brazil dengan 3 poin (tiap kemenangan diberi nilai 2). Dengan hasil seri saja, Brazil sudah pasti juara. Maka, rakyat Brazil begitu yakinnya bahwa gelar juara tinggal menunggu waktu.
Bonus 10.000 pounds sudah di sediakan pemerintah. Jumlah yang cukup besar di masa itu. Pesta nasional tinggal digelar. Spanduk-spanduk terbentang di mana-mana, seolah Brazil memang bakal menjadi juara." Mari satukan keyakinan dalam hati, keyakinan bahwa Brazil akan menjadi juara." Demikian bunyi spanduk-spanduk itu.
Tak ada yang ragu Brazil bakal juara. Sesaat sebelum pertandingan, Wali Kota Rio de Janeiro, Angelo Mendes mengeluarkan pidato singkat yang sangat terkenal. Sebab, pidato itu menunjukkan betapa yakinnya orang Brazil bahwa timnasnya akan juara dunia." Kalian, para pemain. Kurang dari beberapa jam lagi, kalian akan menjadi juara di hadapan jutaan rakyat Brazil. Kalian tidak memiliki saingan untuk meraihnya. Kalian, kepada siapa saya ucapkan salut sebagai seorang juara," kata Mendes.
Kata-kata itu mengiringi langkah pasukan Brazil ke lapangan begitu gagahnya. Para pemain Brazil seperti Barbosa, Augusto, Juvenal, Bauer, Danilo Alvim, Bigode, Friaca, Zizinho, Ademir, Menezes, Jair da Rosa Pinto, dan Chico seolah tinggal meraih trofi Jules Rimet. Sebaliknya para pemain Uruguay seperti Maspoli, M. Gonzales, Tejera, Gambetta, Varela, Andrade, Ghiggia, Perez, Miguez, Schiaffino, dan Moran seolah hanya akan menjadi pelengkap penderita.
Namun fakta di lapangan ternyata bertolak belakang. Uruguay mampu membungkam ratusan ribu pendukung tuan rumah. Bahkan, tim asuhan Juan Lopez itu memaksa rakyat Brazil menangis.
>>BLUNDER FLAVIO COSTA
Pertandingan kedua tim saat itu berlangsung sangat ketat. Brazil terus menekan lawannya tanpa henti. Tapi, Uruguay menerapkan sepak bola negatif. Mereka bertahan habis-habisan dan hanya sesekali melancarkan serangan balik. Strategi itu rupanya membuat Brazil frustasi. Memasuki babak ke dua, Tim Samba mencoba menekan lebih gencar. Semua lini dimanfaatkan demi mengejar kemenangan. Strategi yang sangat berani, mengingat Brazil hanya butuh hasil seri. Toh strategi itu ada hasilnya juga. Baru memasuki menit ke-2 babak kedua, Friaca langsung mencetak gol, memanfaatkan umpan cerdik Ademir.
Harapan juara pun semakin membesar. Bahkan, seolah-olah Brazil sudah juara. Ribuan pendukung di Stadion Maracana terus bernyanyi dan menari, merayakan gelar yang tinggal menunggu penyerahannya. Unggul 1-0, pelatih Flavio Costa membuat keputusan rasional. Dia meminta Jair untuk turun membantu pertahanan. Harapannya, Brazil bisa mempertahankan keunggulannya. Ternyata, keputusan ini justru menjadi blunder sang pelatih. Sebab, lini tengah Brazil menjadi kehilangan ide dan sulit mengembangkan permainan.
Dalam keadaan seperti itu, Uruguay mampu menguasai lini tengah sekaligus jadi lebih sering menekan tuan rumah. Pemain sayap kiri Brazil, Bigode, jadi lebih banyak memberi ruang kepada Ghiggia. Padahal, pemain Uruguay yang satu ini sangat berbahaya dan dinamis. Kesalahan ini harus dibayar mahal oleh Brazil. Hanya dalam sembilan menit, Uruguay akhirnya mampu menyamakan keadaan lewat gol Schiaffino. Dia dengan baik memanfaatkan assist Ghiggia.
Dengan kedudukan imbang 1-1, Brazil masih aman. Tapi, mempertahankan gaya permainan bertahan merupakan kesalahan besar. Keadaan ini tampaknya tak segera disadari Flavio Costa. Sehingga Uruguay pun bisa terus menekan mereka. Kapten Uruguay yang sudah 34 tahun, Obduilo Varela bermain luar biasa. Dia tanpa lelah mengkreasi permainan, yang membuat Brazil terus tertekan. Akhirnya, petaka yang membuyarkan impian tuan rumah datang juga. Ghiggia yang sejak awal pertandingan kurang dikawal ketat, mencetak gol kemenangan Uruguay di menit ke-79.
Stadion Maracana yang tadinya gegap gempita seperti kandang singa yang tanpa henti mengaum, tiba-tiba terdiam. Sunyi sebentar. Dunia serasa kiamat bagi Brazil. Sebaliknya, Uruguay berteriak gembira.
Bahkan komentar radio Globo, Luiz Mendes, seperti tak percaya. Dengan perasaan pedih dia mengabarkan gol keunggulan Uruguay," Ghiggia membawa bola dari tengah lapangan. Dia berlari dan menendang bola . . . Gol untuk Uruguay! Gol untuk Uruguay? Ya, itu gol untuk Uruguay." Enam kali Mendez mengucapkan pertanyaan itu dan dijawabnya sendiri, seolah dia tak percaya.
Sebelas menit yang tersisa tak cukup buat Brazil untuk mengejar ketertinggalannya. Uruguay menang 2-1 dan merebut gelar juara yang tadinya sudah diklaim bakal menjadi milik Brazil. Ini sukses kedua Uruguay, sekaligus pukulan dahsyat yang membuat stadion Maracana merana dalam tangisan, juga membuat kesedihan nasional di Brazil.
FAKTA PERTANDINGAN
Ajang : Final Piala Dunia 1950
Skor : Brazil 1-2 Uruguay
Tanggal : 16 Juli 1950
Tempat : Stadion Maracana, Rio de Janeiro, Brazil.
Wasit : George Reader (Inggris)
Skuad Brazil : Barbosa, Augusto, Juvenal, Bauer, Danilo, Bigode, Friaca, Zizinho, Ademir, Jair, Chico.
Pelatih : Flavio Costa.
Skuad Uruguay : Maspoli, M. Gonzales, Tejera, Gambetta, Varela, Andrade, Ghiggia, Perez, Miguez, Schiaffino, Moran.
Pelatih : Juan Lopez.
Sumber : Football Sharing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar